Salah satu upaya untuk mengembangkan bisnis adalah dengan menambah modal. Modal ini bisa diperoleh dari berbagai cara antara lain dengan meminjam sejumlah uang ke lembaga keuangan seperti perbankan sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku.
Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh debitur untuk mendapatkan sejumlah modal yang salah satunya adalah memberikan jaminan baik berupa aset, surat berharga, atau lainnya. Di Indonesia terdapat hak jaminan yang diberikan antara lain hak tanggungan dan fidusia. Hak tanggungan ini diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT).
Pasal 1 angka 1 UUHT secara tegas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah;
“Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”.
Ketentuan tersebut di atas telah memberikan memberikan kekhususan bagi kreditur yang memiliki hak tanggungan untuk mengambil pembayaran dan/atau pelunasan utang dari aset yang dijaminkan tersebut dengan cara menjual objek jaminan baik atas kekuasaannya sendiri maupun melalui pelelangan umum.
Pemberian hak tanggungan sebagai jaminan tentu dapat memberikan rasa aman bagi pemberi pinjaman. Pasal 9 UUHT menyatakan bahwa pemegang hak tanggungan adalah orang persorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Hak yang dapat dibebani oleh hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan serta hak pakai. Menurut pasal 4 UUHT, ketentuan yang berlaku hak pakai ini wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Hapusnya HGB
Namun pemegang hak tanggungan harus berhati-hati karena undang-undang dapat menghapus hak tanggungan terutama hak atas tanah. Pasal 18 UUHT secara tegas menyatakan hak tanggungan dapat hapus karena;
- Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan;
- Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan;
- Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
- Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak t
Hapusnya hak atas tanah tentu menjadi salah satu poin penting yang harus menjadi perhatian kreditur, apabila memberikan pinjaman dengan jaminan berupa hak atas tanah berupa hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak guna pakai. Perhatian perlu diberikan karena undang-undang secara tegas mengatur jangka waktu pemberian hak atas tanah tersebut.
Misalnya, hak guna bangunan yang memberikan jangka waktu selama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. Contoh tersebut di atas didasarkan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 jo Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 mengatur secara tegas hak guna bangunan hapus karena:
- berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian, perpanjangan, atau pembaruan haknya;
- dibatalkan haknya oleh menteri sebelum jangka waktunya berakhir karena;
- tidak terpenuhinya ketentuan kewajiban dan/atau larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan/atau Pasal 43;
- tidak terpenuhinya syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak guna bangunan antara pemegang hak guna bangunan dan pemegang hak milik atau pedanjian pemanfaatan Tanah Hak Pengelolaan;
- cacat administrasi; atau
- putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
- diubah haknya menjadi hak atas tanah lain;
- dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
- dilepaskan untuk kepentingan umum;
- dicabut berdasarkan undang-undang;
- ditetapkan sebagai tanah telantar;
- ditetapkan sebagai tanah musnah;
- berakhirnya perjanjian pemberian hak atau perjanlian pemanfaatan tanah untuk hak guna bangunan di atas hak milik atau hak pengelolaan; dan/atau
- pemegang hak sudah tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak.
Perpanjangan Jangka Waktu dan Permohonan Pembaruan HGB
Terhadap hak atas tanah yang berupa hak guna bangunan tentu saja pemilik tanah harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu paling lambat sebelum berakhirnya jangka waktu hak guna bangunan.
Lalu bagaimana jika jangka waktunya telah berakhir?
Pasal 41 ayat 2 PP No. 18 tahun 2021 memberikan kesempatan untuk mengajukan pemohonan pembaruan yakni penambahan jangka waktu berlakunya hak setelah jangka waktu berakhir atau sebelum jangka waktu perpanjangannya berakhir. Jika hak guna bangunan yang telah habis jangka waktunya dapat diajukan paling lama 2 tahun setelah berakhirnya jangka waktu hak guna bangunan.
Tidak dilakukannya perpanjangan jangka waktu hak guna bangunan tentu saja dapat menyebabkan hapusnya hak guna bangunan. Apabila tanah hak guna bangunan tersebut berada di atas tanah negara maka tanah tersebut menjadi milik negara.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jika tidak dilakukan perpanjangan atas hak guna bangunan secara tepat waktu maka hak atas tanah menjadi hapus sehingga hak tanggungan yang melekat pada objek tersebut juga hapus sebagaimana ketentuan Pasal 18 UUHT.
Meskipun utang yang dijamin tidak menjadi hapus, namun dikarenakan tidak adanya kesitimewaan yang diberikan untuk memperoleh pembayaran terslebih dahulu dari aset milik debitur tentu saja hal tersebut sangat merugikan. Untuk mengurangi resiko kerugian tersebut maka kreditur pemegang hak jaminan harus secara rutin memerika atau setidaknya memberikan catatan khusus mengenai jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang menjadi jaminan kredit.
By: Adhitya Chandra Darmawan, S.H., CLA